Akhir2 ini jujur mata dan telinga saya jadi sangat gatal! Para makhluk pelaku bullying kembali bersliweran dengan komentar cerdas setingkat dewa.
Apalagi kalau bukan soal Bu Susi? Sang Menteri Perikanan yang punya segudang prestasi namun tidak dipandang karena ia merokok dan ber-tattoo...
Tentu sebagai seorang ibu dan orangtua saya akan mencoba menulis pandangan saya dari sudut orangtua.
"Tamatan SMP, ngerokok, tato-an, kawin cerai kok bisa2nya dijadiin menteri. Gimana nanti anak2 kita gede nya? Gw gak mau anak gw jadi perokok, ga sekolah dll dll dll gara2 Bu menteri kita begitu!"
Jujur saja, buat saya kok pemikiran itu dangkal sekali ya?
Maaf, tapi saya tidak akan minta maaf atas pernyataan saya diatas tadi.
Baiklah, saya akan coba mengingat latar belakang diri saya sendiri dulu..
Ibu saya hanya seorang lulusan SMA, beliau pernah kuliah D1 tapi tidak sampai selesai. Dan sosoknya lah yang saya lihat setiap hari, setiap saat. Apakah ibu saya sukses? Well, saya tidak tau kategori sukses menurut para pembaca disini. Tapi kondisinya ibu saya seorang koki handal dan memiliki usaha catering yang cukup terkenal di kalangan tertentu. Ditambah lagi beliau sukses menjalani sebuah badan usaha yang menjual air minum kemasan beserta makanan2 beku yang cukup laris dan mampu menghidupi beberapa orang karyawannya.
Dari situ saya berpikir.. apakah saya harus sama dengan ibu saya? Apakah saya bisa sekolah hanya sampai tingkat SMA saja? Toh ibu saya juga lumayan sukses kok tanpa harus jadi sarjana....
Tapi kenyataannya tidak! Jelek2 gini saya kuliah sampai tingkat S2, dan saya punya beberapa sertifikat keahlian khusus yang mungkin tidak semua orang bisa punya.
Kenapa.....?
Karena ibu saya selalu mengajarkan kepada saya bahwa pendidikan dan ilmu adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia. Bahwa beliau tidak memiliki kesempatan untuk menuntut ilmu lebih tinggi lagi karena terbentur keterbatasan yang dialaminya dulu. Tapi sebagai orangtua, beliau mampu mengajari saya bagaimana menjadi manusia yang lebih baik...
Disini, saya tidak melihat korelasi yang jelas antara 'punya menteri lulusan SMP' dengan 'takut punya anak yang gak mau sekolah'. Itu aneh!
Lalu kejadian yang sama pernah dialami juga oleh seorang sahabat saya. Yang memiliki paman seorang pengusaha dan menjabat di masa orde baru juga. Sukses? Tentunya! Punya istri banyak? Iya! Perokok, peminum, suka main poker di rumah? Iya juga! Dekat dengan sahabat saya yang notabene keponakannya? Sangat!
Lalu apakah berarti teman saya akan menjadi seorang poligamer yang gemar berjudi dan bermabuk2an?? Tidak tuh!
Sekarang dia memiliki usaha kelas menengah yang dikelola bersama isterinya. Dan kehidupannya baik2 saja.
Masih banyak contoh yang ada di depan mata kita secara nyata..
Pengacara terkenal, sukses, kaya raya...anaknya meninggal OD narkoba?? ADAAA..
Tukang becak, buta huruf... anaknya cum laude dapat beasiswa ke London?? ADAAA..
Sebenarnya bukan masalah Bu Susi disini. Saya juga tidak dalam kapasitas membela seorang Susi Pudjiastuti. Lha wong saya aja gak kenal siapa dia kok.
Hanya mencoba membela diri sebagai orangtua, yang tidak mau menjadikan Susi sebagai batasan sukses atau tidaknya saya mendidik anak2 saya.
Apakah saya takut anak saya merokok?
Apakah saya takut anak saya putus sekolah?
Apakah saya takut anak saya tiba2 men-tattoo tubuhnya?
Tentu saja ada ketakutan2 tersebut dalam diri saya! Tapi bukan karena Bu Susi!
Saya hanya takut tidak bisa mendidik anak saya menjadi manusia yang 'baik' dalam ukuran normal nya manusia.
Saya takut tidak bisa menyampaikan ajaran2 baik kepada anak2 saya.
Saya takut menjadi seorang orangtua yang hanya bisa menyalahkan seorang Susi atas kegagalannya dalam membesarkan anak2nya kelak..
Seperti kata ibu saya ketika saya bercerita mengenai masalah ini :
"Emaknya anak kamu itu kamu? Atau si Susi?"
Nah.. silakan dijawab sendiri